Laporan: redaksi
BANDA,EKSPRESIMALUKU.COM –
Wisatawan yang ingin menapaki sejarah pengabdian Bung Hatta untuk Bangsa Indonesia, sangat tepat bila berkunjung ke bekas rumah Bung Hatta. Rumah pengasingan. Pulau Banda Maluku. Tepatnya desa Naira.
Di rumah ini, wisatawan dapat menjumpai kacamata yang pernah digunakan beliau saat membacakan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Wisatawan juga menemukan satu stel jas warna kombinasi abu-abu coklat. Jas bersejarah ini digunakan bung Hatta saat menandatangani hasil konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda 23 Agustus – 2 November 1949.
Disalah satu pojok halaman rumah, wisatawan akan menyaksikan gentong yang dahulu berfungsi sebagai penampung air hujan. Air inilah yang digunakan Bapak Koperasi Indonesia ini untuk di minum. Air ini mengandung kadar garam tinggi.
Saat tapak kaki anda menjejak Banda, Naira akan menyapa pengunjung dengan pesona alamnya yang berpadu dengan kenangan sejarah. Pulau mungil dengan luas 19,33 kilometer persegi di tengah Laut Banda itu menyimpan kenangan masa perjuangan bersama Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.
Laporan Kompas juga melansir, jika Naira tak hanya pesona keindahan, Kepulauan Banda yang terdiri atas 10 pulau itu juga kaya dengan potensi alam, baik di darat maupun di laut. Laut kaya dengan teripang dan tuna kualitas terbaik di dunia, sementara di darat terkenal karena pala dan cengkehnya sejak zaman Romawi.
Hal itu pula yang menarik kedatangan bangsa Eropa ke Banda mulai tahun 1512. Begitu Des Alwi, putra Banda Naira, menulis dalam bukunya yang berjudul Sejarah Banda Naira.
Pesona dan kekayaan alam itu dilengkapi dengan kisah masa lalu para tokoh nasional. Banda menjadi salah satu tempat pengasingan Hatta dan Sjahrir selama enam tahun, yakni kurun 1936-1942.
Sebelum ke Banda, pemerintah kolonial Belanda sempat mengucilkan mereka di Boven Digoel, Papua. Banda merupakan tempat terakhir sebelum mereka kembali ke Jakarta dan menuntaskan agenda mahabesar, yakni Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Kenangan paling berkesan Hatta dan Sjahrir adalah sekolah sore yang mereka adakan untuk warga pribumi, di antaranya Des Alwi. Des kemudian dijadikan anak angkat oleh Hatta dan Sjahrir yang ia sapa sebagai Oom Kacamata dan Oom Rir. Des kemudian disekolahkan ke luar negeri.
Kini, kenangan itu masih tersimpan di situs sejarah Rumah Pengasingan Bung Hatta. Di belakang rumah pengasingan masih ada tujuh pasang meja dan bangku, serta papan tulis yang masih terbaca bekas tulisan Hatta ”Sedjarah Perdjoeangan Indonesia Setelah Soempa Pemoeda di Batavia Pada Tahun 1928”.
Sementara itu di dalam rumah masih tersimpan sepasang sepatu, kacamata, dan jas. Tempat tidur Hatta dengan seprai putih beserta kelambu juga terpasang rapi. Meja kerja dan rak buku juga masih berdiri. Terpajang pula sejumlah foto Hatta bersama warga Banda.
Setelah tidak lagi menjabat Wakil Presiden, tahun 1972, Hatta pernah mengunjungi Banda Naira. Ia disambut seperti anak asli pulau itu. Banyak warga menangis ketika Hatta pulang ke Jakarta. Sama seperti pada Februari 1942 ketika Hatta dan Sjahrir mengakhiri masa pembuangan di sana.
Kendati semua saksi sejarah yang bersama Hatta dan Sjahrir selama masa pembuangan sudah meninggal, kenangan tentang Hatta yang diceritakan secara turun-temurun oleh warga Banda Naira tak hilang dimakan waktu. Kompas dengan mudah menghimpun kenangan itu dari setiap warga yang ditemui. Bagi siapa saja yang datang ke Banda, kenangan Hatta dan Sjahrir akan diputar kembali. (Fransiskus/han).