Ruang publik kita akhir-akhir ini semakin bising dengan kritik tajam masyarakat atas tingkah “nakal” para Staf Khusus Milenial Presiden Jokowi, mulai dari Andi Taufan yang menggunakan kop negara untuk memuluskan peran perusahaannya di tingkat desa dalam penanganan Covid-19, Adamas Belva dengan Ruang Guru miliknya yang menjadi mitra pemerintah dalam sosialisasi Kartu Pra Kerja, dan Billy Mambrassar yang menyatakan posisinya sebagai stafsus milenial “setara” dengan kedudukan menteri dalam Kabinet Indonesia Maju.
Tentu saja, kritik yang bertubi-tubi ini tidak serta merta datang atau ujuk-ujuk ada, melainkan hasil dari akumulasi kekecewaan atas sikap dan kinerja para stafsus yang dinilai masih jauh dari harapan. Padahal, kalau melihat ke belakang, sejak para stafsus milenial dilantik, banyak orang muda turut senang lantaran merasa bakal memiliki “juru bicara” di hadapan presiden, media pun tak tanggung-tanggung menyanjung keputusan Jokowi sebagai sebuah langkah adaptif atas perkembangan, dinamika, dan kebutuhan bangsa akan peran pemuda di ranah birokrasi nasional.
Tapi sayang, seribu kali sayang, sikap agresif dan gercep para stafsus milenial ini kerap kali memantik kritik publik yang memang saban hari mengawasi gerak-gerik mereka. Setidaknya, saya merangkum empat masalah utama sikap stafsus milenial yang sering menuai polemik, pro-kontra, dan kritik tajam dari publik:
Pertama, keliru memahami zona dan pola kuasa yang dimiliki. Kata Michel Foucault dalam bukunya Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977 (1980); kekuasaan memang kerap dipahami secara keliru, dimana sering memaksakan kehendaknya atas kehendak orang atau pihak yang tak berdaya. Hal ini lebih cocok disematkan pada kasus Andi Taufan yang secara implisit telah melakukan “intervensi” struktural kepada para camat melalui kop sakti negara. Andi juga bisa dikatakan tidak memahami pola komunikasi birokrasi.
Meskipun Andi mengaku berniat baik, namun menggunakan kop negara atas kepentingan korporasinya adalah bentuk pemaksaan kehendak. Camat mana yang berani menolak niatan itu kalau mereka disambangi kop sakti negara? Untung saja, publik gerak cepat mengkritisi kejanggalan tersebut. Kalaulah hal ini diulang lagi, maka saya “haqqul yakin”, publik akan melawat dengan lebih hebat lagi. Sekarang saja, nasib Andi dalam tekanan usulan pemecatan.
Saran saya, belajarlah dari para mantan birokrat dan pejabat publik terdahulu yang sudah terciduk hukum lantaran salah memanfaatkan sistem birokrasi negara untuk kepentingan pribadi. Maksudnya, belajarnya untuk tidak mengikuti mereka. Jelas?
Kedua, terjebak konflik kepentingan (conflict of interest). Langsung saja kita bahas kasus Menteri Perdagangan era SBY, Gita Wirjawan yang tempo dulu dikritik keras lantaran menggunakan uang negara untuk menggeret popularitasnya menjelang Pilpres 2014 dengan modus pendekatan publisitas politik lewat iklan kemendag tentang anjuran menggunakan “ploduk-ploduk” dalam negeri.
Mengapa dikritik? Selain Gita sendirilah model iklannya, yang kemudian iklan itu ditayangkan di televisi nasional, terpampang di badan bus, mejeng di billboard hingga di kereta api, di saat bersamaan Gita juga itu masuk dalam bursa calon presiden konvensi partai Demokrat. Artinya, Gita memanfaatkan teknik publisitas yang disebut “free ride publicity” alias penunggang bebas popularitas, dimana namanya bisa melambung tinggi tanpa perlu merogok kocek pribadi, melainkan pakai uang negara atas nama iklan kementerian.
Nah, masalah konflik kepentingan ini, pun sering kali dipraktikkan para stafsus milenial Presiden tanpa malu-malu. Ada yang melawat ke daerah atas nama stafsus namun membawa pula bendera korporasinya, mengikutsertakan LSM-nya, atau memboyong perusahan milik keluarganya. Pertanyaan saya, sebenarnya anda mau ngapain tuan dan puan? Jadilah stafsus yang genuine, yang ikhlas hati membantu Presiden tanpa embel-embel ajimumpung: sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui, begitu maunya?
Ketiga, tidak menyadari adanya krisis narasi dalam performa komunikasi yang mereka bangun. Kalau mau ditelisik lebih jauh mengapa para stafsus begitu mudah menuai kritik publik, sebenarnya bisa dibaca dari ketidakpuasan publik atas performa komunikasi yang miskin narasi “kekitaan”. Boleh jadi, dalam evaluasi internal, para stafsus dianggap puas dalam bekerja dan menjalin relasi kehumasan dengan publik, namun kenyataannya hal itu berbalik di mata publik. Kita bisa membuktikan dengan menengok aktivitas penggunaan media sosial para stafsus dan apa yang publik bicarakan tentang mereka.
Alih-alih media sosial dijadikan panggung komunikasi, diseminasi, dan publikasi kinerja, para stafsus malah terjebak dalam pusaran industri citra. Lihat saja narasi yang dibangun, semua berbicara ke-aku-an, dan sedikit berbicara tentang kerja kolektif kelembagaan. Kalaupun bicara kelembagaan, selalu dicampuradukkan dengan irisan performa personal. Misal, lebih banyak membagi berita tentang “ke-aku-an” ketimbang menunjukkan performa kolektif, sesungguhnya merupakan bias komunikasi bagi para stafsus.
Sebab itulah, tak heran kalau publik maya kerap berseloroh, “ngomong apa sih lu/ ngapain sih lu?” sebagai pertanda ungkapan kejengahan dan kebosanan atas narasi yang dibangun para stafsus. Meminjam perspektif teori naratif Walter Fisher dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang jadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya. Pertanyaanya, sudahkah para stafsus membangun kepercayaan publik lewat performa komunikasi mereka sejak mereka terpilih? Kalau tidak, amanat presiden yang diserahkan ke mereka bisa gagal atau bubar jalan.
Keempat, salah trik untuk menjadi media darling. Zaman kiwari, memang zamannya pencitraan, terutama jika seseorang berhasil menjadi media darling alias sohibnya media, menjadi orang yang senang diberitakan media (news maker). Tidak salah juga apabila seorang stafsus menjaga wibawanya dengan cara merawat citranya di media. Namun menjadi keliru jika itu dilakukan dengan manajamen relasi media yang salah.
Saya mau ambil contoh Stafsus Billy Mambrassar. Kalau boleh dikasih ratting, tentulah performa Billy di media yang paling tinggi, baik media daring, cetak, elektronik, maupun di channel youtube ternama. Mengapa? Sebab Billy bukan anak pemilik media, bukan pemegang saham di suatu media, juga bukan pengiklan besar yang sanggup mengintervensi konten media.
Billy benar-benar berhasil mencuri perhatian media dengan baik. Hanya saja, Billy nampak lebih senang dikenal lebih dari apa yang ia diktekan kepada orang lain, ketimbang apa yang orang nilai tentang dia dari apa yang dikerjakan. Contoh teranyar, ya, penjelasan diri pada bio-nya di linkedin yang “mengaku” setara menteri. Meskipun penjelasan bio itu masih bisa diurai dan dicari celah pembenarannya, tapi seharusnya ia tidak melakukan hal itu, sebab cukup dengan menjaga konsistensi kinerja pun, publik bisa menilai seberapa berkelas Billy Mambrassar. Lebih hebat dari menteri, bisa jadi, atau bahkan lebih lagi.
Kalau mau terima saran, tirulah cara Kang Emil mengemas diri menjadi media darling, atau cara Jokowi merekayasa tindakan komunikasinya menjadi media darling. Pokoknya, buatlah sesuatu yang dicintai rakyat. Apa itu? Perbanyak “memosisikan” diri setara dengan masyarakat, bukan memberi jarak dengan melabeli diri sebagai stafsus secara berlebihan. Dalam kata lain, kita setara sama berkarya.
Konteks komunikasi
Dari 4 pekerjaan rumah para stafsus yang sudah saya bahas panjang lebar di atas, maka saya ingin mendonasikan sedikit solusinya dalam konteks komunikasi.
Pertama, memperbaiki manajemen komunikasi publik. Perlu diketahui dan disadari bahwa tidak ada satupun tindakan komunikasi dari para actor (pelaku komunikasi) yang dilakukan tanpa perencanaan, terlebih jika hal itu berkaitan dengan konteks komunikasi politik dan komunikasi publik. Kali ini saya mengutip Danton dan Woodward dalam bukunya Ethical Dimensions of Political Communication (1991), bahwa setiap peristiwa komunikasi selalu dilakukan dengan kesengajaan atau dikelola (managed). Kalau berdasarkan Teori Manajemen Privasi Komunikasi dari Sandra Petronio dalam bukunya Boundaries of Privacy: Dialectics of Disclousure (2002), seorang komunikator harus bisa menimbang dan memilih apa yang harus dikatakan, dan apa yang harus disimpan dari publik. Jadi, jangan asal njeplak, seperti yang pernah dilakukan Billy dengan kata “kubu sebelah”.
Kedua, melakukan manajemen reputasi. Sekarang, para stafsus milenial presiden tengah dalam sorotan publik. Mereka adalah sosok multinarasi, dimana mereka bebas diinterpretasikan oleh publik. Oleh sebab itu, biar penafsiran itu tidak terlampau keluar jauh dari semestinya, alangka baiknya para stafsus menjaga dan memproteksi reputasi mereka sebaik mungkin. Baik buruknya reputasi para stafsus dipengaruhi oleh pola komunikasi publik, cara mengemas pesan, dan cara menerima kritik.
Kalau reputasi publik para stafsus buruk, tentunya itu dapat menyebabkan krisis komunikasi dan kesan bagi internal mereka sendiri. Berdasarkan manajemen krisis dari Michael Regester dan July Larkin, Risk Issues and Crisis Management (2000:48), menjelaskan bahwa suatu krisis tidak mungkin serta-merta ada, tetapi berjalan dari isu potensial, lalu muncul menjadi aktual. Pertanyaannya sekarang, isu aktual apa yang terkait stafsus dan berpotensi dikapitalisasi? Maka, waspadalah. Selamat mengerjakan PR!