Connect with us

Intelektualita

Menyambut Pilkada SBT! (RENUNGAN-1)

 

Sebenarnya, catatan kecil ini, tidak bermaksud mengutuki hajatan rutin demokrasi lima tahunan kita. Beta lebih menyoroti substansi, mengajak basudara memasuki ruang-ruang kontemplasi (perenungan hati nurani), berpikir logis, membaca realitas, dan menarik kesimpulan akan hajatan Pilkada yang sebentar lagi memasuki periode keempat sejak Kabupaten Seram Bagian Timur dimekarkan.

Mekar, sejatinya bermakna berkembang, bertambah luas, atau bertambah besar. Tapi, mekar dalam terminologi politik bukan berarti berkembang secara geografis saja, melainkan demografis; lebih pada distribusi kekuasaan dan pengelolaan daerah secara mandiri.

 

Cerita Pilu

Pilkada sendiri, sejatinya bertujuan mencari pemimpin daerah, bukan penguasa: sama sekali, bukan. Kalau setiap lima tahun kita hanya mendapat “penguasa” dari mekanisme pilkada, maka ada yang salah dari cara kita memberi mandat  alias mencoblos orang yang salah karena ketidakmengertian kita. Miris!

Selain itu, harus katong sadari bahwa pilkada adalah arena kontestasi yang juga menyumbang limbah politik yang luar biasa kotor. Sadar ataupun tidak, coba tanyakan pada logika dan hati nurani masing-masing, apa dampak limbah politik selama 15 tahun terakhir? Sudahkah baku bae bapak-bapak deng ibu-ibu yang cekcok akibat pilkada lalu? Masihkah tersambung silaturrahim antarkeluarga pasca-pilkada? Atau jangan-jangan, anak deng bapak baku marah sampai oras ini, ade deng kaka saling fitnah, juga kerabat dan kolega bisnis saling menjebak. Inilah dampak horizontal (antar masyarakat) secara sosial-politik-ekonomi yang dirasakan masyarakat akar rumput (grassroots/orang biasa).

Dampak di kalangan elite politik pun ada. Kontestasi pilkada yang transkasional, serba hitung-hitungan untung rugi, mau tak mau memaksa para pemimpin yang minim kompetensi & lemah integritas untuk mencari ganti rugi dengan mengelola kekayaan daerah menjadi milik pribadi (motif ekonomi). Kalau apes, ya terciduk KPK atau Kejaksaan. Belum lagi ditambah pusing dengan konflik vertikal-horizontal yang memaksa sejumlah pemimpin daerah memutasi pegawai tanpa alasan jelas, tanpa hitung-hitung indeks kinerja, melainkan musabab unsur politis semata. Sensi!

Beta seng bicara kosong. Coba lihat bukti umumnya: sejak digelar pertama kali pada 2005 silam, pilkada tak hanya melahirkan pemimpin baru, tetapi menghasilkan jejaring koruptor-koruptor baru, yang mencintai kleptokrasi politik (sejumlah politisi maling/pancuri) di level elite.

Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, dari 753 pasangan kepala daerah yang terpilih sejak 2005-2011, sebanyak 275 orang (18,2 persen) terjerat masalah hukum, baik sebagai saksi, tersangka, terdakwa, hingga terpidana.

Lagi, data mutakhir Kemendagri mempertegas, mulai Juni 2005- Mei 2014, tercatat ada 325 kepala daerah terkena kasus hukum. Secara terinci; gubernur 23 orang, wakil gubernur 7 orang, walikota 47 orang, wakil walikota 20 orang, bupati 172 orang, & wakil bupati 56 orang.

Degradasi ini semakin diperparah dengan 3.169 anggota DPRD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang terkena kasus hukum. Bahkan, ada 1.221 PNS di daerah setingkat sekda, kepala dinas, dan camat, pun terjerat kasus hukum.

Bagaimana dengan pemimpin SBT? Sementara, yang terdengar ramai hanyalah desas-desus kasus korupsi yang melibatkan sejumlah petinggi, meskipun pada akhirnya isu itu mampu dimentahkan. Alhamdulillah, kita syukuri terlebih dahulu bahwa belum ada kepala daerah SBT yang terciduk KPK, tapi di lain sisi kita perlu mewaspadai gelagat-gelagat “pengerat” harta rakyat yang mungkin saja dimainkan lewat kongsi di sektor lain semisal permainan dana desa dll.

Berdasarkan data dari RRI, Desember 2018 lalu, sebelas kepala desa di kabupaten Seram Bagian Timur yang masuk dalam daftar tersangka kasus Dana Desa. 11 Kepala Desa   itu di antaranya berasal dari Kecamatan  Gorom, Geser, Wakate, Kilmuri, Madaur, Mising, Waisalang, Air Nanang dan lainnya. Adalah fiktif dan penggelembungan untuk kepentingan pribadi melalui pengadaan barang-barang bekas dengan periode tahun 2015-2017 berkisar Rp 300-400 juta, dan tahun 2016-2017 Rp 700-800 juta. Sebagian sudah menjalani masa hukuman karena terbukti KO-RUP-SI. Siapa saja? Basudara dong labe tau.

 

Bagaimana Seharusnya?

Akankah basudara dorang dengan asal-asalan memilih pasangan bupati-wakil bupati pada September nanti? Pikir bae-bae jua sayang e. Pilkada keempat Kab. SBT nanti bukan sekadar euforia pergantian pucuk pimpinan, dan bukan cuma perkara bangga diri jadi timses Si A, Si B atau Si C.

Pilkada ini persoalan krusial, menyentuh substansi pemekaran tadi, yakni berkembang secara demografis (perbaikan ekonomi, pendidikan, keterbukaan informasi, transparansi pemerintahan & pengelolaan aset daerah, kesejateraan sosial, dll). Dan yang lebih penting lagi, terpilihnya pemimpin transformatif yang mendorong kemandirian masyarakat, tercapainya integritas sosial, dan pemimpin yang bebas korupsi.

Saatnya, pilkada periode keempat ini semakin mendewasakan cara berpolitik kita sebagai warga SBT. Meskipun (mungkin) ada dua atau tiga pasangan kandidat yang bertarung nanti adalah wajah-wajah lama dalam lanskap politik SBT, namun jangan percaya begitu saja dengan janji-janji politik yang mereka umbar. Cari tahu, siapa yang terbaik rekam jejaknya (track records). Kalau pun tidak ada, maka carilah yang “dosa politik-nya” dianggap paling sedikit. Bagaimana, kira-kira siapakah Bupati dan Wakil Bupati Kab. SBT berikutnya? let’s see how it goes.

 

Penulis: Shulhan Rumaru

Peneliti Bidang Media dan Politik di The Political Literacy Institute

Ekpresi Maluku

Advertisement

Gempa terkini di Indonesia

More in Intelektualita