Jelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak September mendatang, konstelasi politik mulai memasuki fase forelpay yang dipertontonkan secara terbuka lewat kanal-kanal mainstream maupun social media. “Aurat” helatan politik kedaerahan ini, tak terkecuali Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), pun tak lagi disembunyikan. Malahan, terang-terangan diumbar dalam diskusi-diskusi mahasiswa, santer dalam perbincangan para “ketua”, hingga celoteh-celoteh warga biasa di warung kopi.
Berbagai stimulan juga gencar dilakukan demi menaikkan tensi perhatian publik, sehingga akan dengan mudah publik mengidentifikasi siapa mengusung siapa, mendukung siapa, menjegal siapa, bahkan siapa menjual apa & siapa. Hasilnya, sejumlah nama dari politisi wakil hingga politisi pesolek yang terendus lewat “harumnya” kabar informal yang berhembus di masyarakat, kini terlihat mulai tampil “mesra” dan “menggemaskan” dalam sekuel bursa Cabup-Cawabup SBT.
Saking asyiknya, kita malah melupakan satu hal penting ketika sedang sibuk gontok-gontokan berkampanye tentang bakal calon pemimpin masa depan Negeri Ita Wotu Nusa tercinta ini. Apa itu? SISTEM IMUN SOSIAL KITA. Kewarasan kita mulai terpanggang akibat terpapar panasnya strategi-strategi kampanye yang dikreasikan sebegitu hebat dan dramatisnya demi meraih kuasa. Alhasil, sistem imun sosial kita sebagai orang basudara kian nampak melemah. Barangkali, ini akibat dari kegagalan kita memahami “pemilu substansial” ketimbang “pemilu sensasional”.
Pada musim kampanye nanti, sepertinya banyak orang bakalan mudah terserang hasutan dan terjangkit iri hati, lantaran tak kuat menahan suhu pilkada yang terus memanas dan akhirnya kita “halusinasi jamaatan” alias disorientasi politik bersama. Kita, tak lagi mampu membedakan mana realitas rekaan dan mana fakta politik yang verifikatif.
Begitupun tentang ribut-ribut di akar rumput (grassroots) yang nanti bakal ramai terdengar. Ya, menyoal siapa mendukung siapa, tentunya. Perbincangan politik masyarakat pun akan berseliweran di ruang-ruang publik virtual (new public sphere) seperti di Facebook Group “New Pilar”, bahkan kisruh seakan mewakili realitas sebenarnya. Tak cuma itu, anomali sosial pun bermunculan, ada friksi haters vs lovers, ancaman-mengancam kepada petugas KPPS dan saksi, hingga tumbuh faksi-faksi “ekstrimis” yang cenderung memfragmentasi masyarakat secara hitam putih.
Mungkin, hanya satu yang nampak tak begitu menonjol di SBT, yaitu peran para ulama yang semula menjadi pewarta Tuhan, berubah sibuk mereportasekan pilihan-pilihan politik, seperti apa yang terjadi pada beberapa pemilu di Pulau Jawa, misalkan Pilgub DKI Jakarta atau bahkan Pilpres kemarin. Begitupun dengan peristiwa pemanfaatan “produk” pemuka agama semisal “ijtima ulama” sebagai legitimasi alat gebuk dalam kontestasi pemilu.
Alhamdulillah, untuk perkara satu ini, berdasarkan pilkada-pilkada sebelumnya, masyarakat SBT kelihatannya masih tak tertarik bicara politik dalam balutan narasi agama. Namun, bukan berarti ke depan nanti, politik kekuasaan di SBT tak bisa menjelma rupa agama atau berpenampilan budaya. Bisa jadi, hal itu akan terwujud jika tak diantisipasi.
Dalam pemaknaan yang luas, bukan berarti ada upaya untuk memisahkan gama dan politik, tapi ini persoalan peletakan agama yang secara keliru dalam konstelasi politik. Seperti apa itu? Ya, semisal contoh pemanfaatan ijtima sebagian ulama demi meraih syahwat politik. Dalam kajian Islam, ulama semisal ini disebut, ulama su’; ulama matre, ulama gila jabatan, dan ulama yang gemar menjual dalil-dalil agama demi ihwal duniawi.
Pokoknya, jangan sampai terprovokasi propaganda bermateri agama, yang kerap kali berhasil memblokade kewarasan kita tentang kontestasi sebenarnya yakni pemberian mandat rakyat untuk mencari pemimpin baru, bukan penguasa baru. Oleh karena itu, mari kita sadari bersama bahwa kita sedang berada dalam sebuah peristiwa, dimana emosi dan kesadaran kita direkayasa secara massal oleh mesin-mesin pemenangan.
Kalau kata JH Robinson: Kampanye politik dirancang dan dibuat menjadi pesta pora emosional yang berusaha mengalihkan perhatian kita dari masalah-masalah esensial, dan mereka benar-benar melumpuhkan satu-satunya kekuatan yaitu pikiran yang biasa kita gunakan.
Meski begitu, ini bukanlah pesimisme melainkan bentuk kekhawatiran sekaligus ajakan baik tentang memahami pemilu substasial. Dari keseluruhan dinamika pemilu yang kita hadapi dahulu hingga sekarang, patutlah kita sikapi sebagai sebuah ujian daya tahan sosial kita, tentang soliditas dan solidaritas.
Mulai sekarang, tanamkan dalam diri kita, seganas apapun kontestasi pilkada nanti, anak dan orang tua harus solid, kawan-kawan seperjuangan yang beda kubu mesti solider. Ingat, kita ini Seram Bagian Timur, apapun pilihan kita, tetaplah menjadi generasi yang damai di tanah Seram! Salam Pilkada.