
Temperatur politik yang memanas dan memanggang kewarasan kita belakangan ini, memberi sedikit asupan nutrisi kritis tentang ketidakmengertian saya akan sikap politik yang jauh dari nilai-nilai asketis.
Lihatlah diskursus yang dibangun para politisi di media. Rasionalisasi dukungan politik yang dibuat seaktual mungkin untuk mengendalikan nalar publik, nampaknya jauh dari kesan mencerdaskan dan mencerahkan, bahkan tak sedikit dari kita terfragmentasi ke dalam kantung-kantung pemilih & simpatisan yang justru menimbulkan friksi sosial.
Herbert Marcus menyebut realitas semacam ini sebagai “rasionalitas teknologis”, atau dalam pandangan Max Horkheimer disebut “rasio intsrumental”. Maksudnya, elit politik gencar merasionalisasikan kerja dan interaksi mereka supaya diterima publik dengan kesan seolah-olah tanpa paksaan.
Contoh paling aktual saat ini, ya, melalui pendekatan legitimasi agama. Dalam strategi komunikasi politik disebut sebagai strategi sosial tradisional. Sebenarnya, tak ada yang salah dari strategi ini, namun cara menjalankannya tergelincir dari rasa kritis dan berorientasi teramat transaksional.
Para politisi berkepentingan kerap merapat ke pemuka agama demi dukungan politik dan benar-benar hanya demi akumulasi elektoral semata. Lantas, di lain sisi mengabaikan soliditas sosial yang lambat laun terkoyak.
Buktinya, lihat saja spanduk-spanduk penolakan penyolatan jenazah beda pilihan politik, pengusiran jamaah sholat beda rumah politik, dan dalil-dalil agama yang ditafsirkan searah kepentingan elektoral semisal Almaidah 51: kerap kali hanya aktual dan keras digunakan dalam momentum pemilu tertentu.
Tak hanya itu, gerak politik kaum muda pun seperti mengalami kemandekan. Setidaknya dikarenakan sejumlah faktor:
Pertama, masih adanya politik patronase yang diperankan kaum muda. Seakan kehilangan genuinitas politiknya, generasi muda kerap kali hanya “membebek” sesuai arahan politisi tua atau senioritas.
Jamak terjadi, terkhusus di Maluku, anak muda menjadi juru bicara para senior bahkan tak sedikit yang dijadikan jongos partai politik. Buktinya, kaum muda belum mampu mendobrak dan mendominasi parlemen atau menjadi kandidat dalam kontestasi lokal.
Kedua, minimnya produksi wacana progresif. Harus diakui, obrolan politik kaum muda Maluku masih sekadar wacana stensilan yang bersifat permukaan. Kita masih sibuk bicara siapa mendukung siapa dan meraup apa setelah jadi “pesuruh” partai. Apalagi ditambah diskusi panjang di warung kopi yang tak berujung aksi, tentu saja semakin mengaburkan peran politik kaum muda.
Diskusi warung kopi yang miskin substansi ini, sebenarnya sudah terjadi di Jerman ratusan tahun lalu. Sudah usang dan jadul. Lantas, maukah kita sama dengan situasi berabad lalu? Tidak. Kita harus lebih progresif dari sekadar obral wacana kosong. Beralihlah untuk bicara ketahanan pangan, advokasi buruh, ekonomi kreatif, mengkritisi parpol yang miskin prestasi dan pemimpin yang hobi menebar visi retoris semata.
Sampai di sini, kita butuh sedikit solusi. Barangkali, dapat kita potret dari perspektif komunikasi politik.
Pertama, menghadirkan praktik demokrasi prosedural yang membuka ruang-ruang ekspresi dan partisipasi politik masyarakat. Fungsinya, tentu untuk melahirkan beragam manuver, rivalitas dalam perumusan regulasi untuk saling mendukung. Kontestasi politik ini menyuburkan basis komunikasi politik sebagai kebutuhan di hampir seluruh tindakan aktor.
Kedua, modernisasi komunikasi politik. Misalnya, penggunaan sosial media dalam menyosialisasikan ide, gagasan dan sikap para aktor politik. Selain itu, mewabahnya penggunaan Twitter, Facebook, Instagram, dan sejumlah sosial media lainnya oleh para politisi dan generasi muda saat ini, membuat lingkup komunikasi politik semakin luas dan borderless.
Banyak politisi bermigrasi dari panggung politik konvensional ke arena jejaring virtual, dimana mereka lebih bebas menyosialisasikan gagasan, persuasi publik, protes, usulan, hingga melakukan manuver politik.
Bahkan, fenomena cyber-protest pun kian menggejala meski belum nampak matang sebagai gerakan hacktivist yang menentang superioritas rezim kekuasaan dan korporasi seperti dilakukan Wikileaks.
Kini, para aktor politik, baik politisi (wakil maupun ideolog), birokrat, aktivis kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (pressure group), juga jurnalis dan media massa, terlihat semakin adaptif terhadap penggunaan internet. Terlebih dengan penetratifnya produk-produk internet generasi 2.0 (new media; social media), interaksi politik semakin atraktif dan dinamis.
Ketiga, menyuburkan industri di seputar lingkup politik. Misalnya, mendirikan media massa, konsultan komunikasi politik, agen publisitas, profesional PR (public relation) politik dll. Mungkin di daerah seperti Maluku, hal ini masih didominasi “group besar” tp tidak menutup kemungkinan, generasi muda Maluku akan menumbuh-suburkan bidang ini.
Hanya saja, menjamurnya industri di area politik masih ditandai oleh kegagapan kita akan fenomena ini. Misalnya, terkait dengan aturan main soal publikasi hasil riset opini publik melalui media yang hingga kini masih belum jelas, atau belum adanya lembaga riset yang produktif di Maluku.
Keempat, pentingnya membumikan literasi politik sebagai bauran pengetahuan, skill dan sikap politik. Literasi ini dimaksudkan untuk membaca kamuflase politik elitis di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif, sekaligus menghindari dominasi politik kartel yang pekat dengan praktik kolusif. Terlebih, kalau ditelisik lebih jauh, konstruksi politik penuh keadaban pada bangsa ini sering terjerembab ke dalam kubangan ritus segelintir elit yang sibuk saling menyandra pihak lain.
Oleh karenanya, literasi politik dianggap sebagai kebutuhan mendesak guna merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Hal ini juga sangat penting dalam pencapaian legitimasi yang kuat dan dalam, sehingga semua aktor politik baik pada level massa maupun elit dapat menumbuhkan sikap saling percaya dan mengembangkan respek satu sama lain.
Sudah saatnya kita menyalakan lagi semangat berpolitik secara sehat sebagai wujud penguatan peran politik warganegara. Dibutuhkan pengarusutamaan (mainstreaming) literasi politik yang tidak semata normatif melainkan juga operasional dan faktual.
Kerja literasi politik dapat diimplementasikan dalam jejaring politik warga negara berbentuk senyawa pengetahuan, keterampilan dan sikap politik tercerahkan sekaligus mendorong masyarakat agar aktif-partisipatif dalam melaksanakan hak serta kewajiban mereka secara sukarela di arena politik terkait hajat hidup orang banyak.
Kelima, pentingnya asketisme politik sebagai laku para aktor. Asketisme politik dipahami sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakannya demi kemaslahatan rakyat banyak.
Caranya, berpolitik tidak dengan mengedepankan kepentingan mengejar kekuasaan melainkan demi kemaslahatan bangsa dan negara. Artinya, asketisme politik diarahkan untuk meningkatkan “kesalehan” berpolitik, baik di tingkat pribadi maupun institusional. Sehingga, tawaran “asketisme politik” sudah tentu rasional untuk kondisi politik kekinian.
Weber dalam bukunya The Protestant Ethic and Spirit of Capitalism (1930), menjelaskan konsep asketisme politik sebagai upaya menjalankan aktivitas berpolitik berdasarkan prinsip kesederhanaan dan etika serta memproyeksikan tindakan demi kemaslahatan rakyat banyak.
Kita juga tentu mengenal istilah zuhud dalam khazanah sufisme, yang dalam term politik dimaknai sebagai sikap eskapisme atau mengalienasi diri dari syahwat politik, latihan hidup sederhana dan bersahaja. Asketisme politik lebih diarahkan untuk meningkatkan kesalehan berpolitik, baik di tingkat pribadi maupun institusional.
Kalau sudah begini, wacana politik maupun kontestasi politik tidak lagi mengandalkan diskursus kacangan serta agitasi bermodal dalil-dalil agama yang kontroversial atau multitafsir, melainkan lebih pada pertarungan politik di level substansi, yakni beradu visi-misi kepemimpinan dan program-program pembangunan pro rakyat. Selain itu, generasi muda pun harus diproyeksikan sebagai pengendali bandul konsolidasi politik.
Ekpresi Maluku

