Puisi itu tak lagi bersajak, larik yang pernah mencipta diksi ala Italo Calvino dari Negeri Pizza itu, berubah menjadi syair-syair biologis yang berimplikasi pada interpretasi salah kaprah dari rohaniawan Prancis, atas desah kepenyairan Marquis de Sade dalam penjara imajinasi bernama rumah sakit jiwa.
Aku mendengar setiap bait puisi selalu meramaikan rumah-rumah seni, melihat galeri mengurung Rafaelo Sanzio yang memeluk erat La Dona Velata, menyaksikan rembulan yang cahayanya dirampas dari kanvasnya Claude Monet, melihat tubuh Piccaso dikurung dalam kubus berbentuk biologis, mendengar Mozart dipaksa melupakan Elvira Madigan, meresapi Beethoven yang dipaksa meninggalkan Elise, memandang Dante dijatuhi hukuman agar tak lagi bertemu Beatrice. Semua aku saksikan dalam laga kematian pengarang yang permanen, sehingga yang lahir adalah bayi-bayi seniman, musisi, sastrawan yang terjebak hanya pada jebakan-jebakan biologis. Oh, aku melihat Freud mengangkat panji kemenangannya di atas mimbar Complex Oedipus bernama psikoanalisa yang kini menjadi brand setiap karya.
Saat memandang Heidegger mempuisikan Being and Time di hadapan Hanah Arendt, aku melihat begitu banyak perbedaan dengan Hanung Bramantyo dan Zaskia Adya Mecca. Entah, hanya sedikit kebingungan saat Hitler berkuasa yang kemudian membuat sedikit kebencian dari para penyaksi saat mengetahui Heidegger terbawa arus Nazi.
Tapi, izinkan aku meminang Roland Barthes untuk mematikannya agar ia bisa mewarisi padaku cara mengubah secara radikal corak Cartesian, huserlian, yang melanda manusia modern, dan kemudian selipkan sedikit celah bagiku sebilah logos biar Derida bisa tergoyah hatinya memberi senjata pemusnah teks bernama dekonstruksi, sebab aku ingin hidup tanpa sedikitpun berada dalam teks modernitas. Aku ingin memutilasi setiap strukturalisme ajeg dan bersamaan itu arahkan padaku sang ego terakhir dan katakan pada Sir M. Iqbal di Lahore itu kalau aku benar-benar mencintainya.
Sepertinya tak ada lagi damai abadi yang lahir dari tulus terdalamnya hati dalam jagat yang luas ini, namun dalam keadaan setengah atau benar-benar gila berikanlah padaku ribuan dunia yang terdapat dalam setitik debu. Aku hanya ingin bersenda bersama Muhammad, Isa, Agustinus, Ali, Higgs, Dirac, Einstein dan Heisenberg tentang perubahan semenjak aqil baligh membasahi tubuh mereka. Kenapa lingkunganku seperti tikusnya Edward Throndike, atau anjingnya Ivan Palov? Oh tidak, lingkunganku hanyalah bahan-bahan kasar yang gampang diolah seperti John Perkins merubah statistik ekonomi kita yang ia tulis dalam Confessions Of An Economic Hit Man, gampang tersimulasi seperti pertunjukan simulacra and simulaqrum Baudrillard, gampang terbawa saat berahi Lacanian menjadi simbol ketampanan dan kecantikan. Kita benar-benar kehilangan arah dalam lawatan Genealogy, sembari bangga dengan diri yang sebenarnya bukan diri kita yang sebenarnya.
Kenapa sastra tak lagi menjadi tragedi saat lapar menderah bangsa? Di mana puisi, di mana penulis, di mana pelukis, ke mana musisi saat hidup tak elok menghidupi? Aku teringat Commandante Marcos di Meksiko tentang apakah kata-kata tak lagi bersenjata? Ataukah seperti ratapannya Toeti Heraty kalau cinta hanyalah jebakan biologis? Oh, sepertinya jebakan-jebakan itu semakin berhasil sehingga kata dengan gampang berubah menjadi bunglon.
Sepertinya aku tak ingin mengutip Attila Jozsef, penyair Hongaria “Beginilah (aku) hidup, tiada guna dan sia-sia, dan kini hanya kusaksikan semuanya teramat senyap, mereka biarkan aku bertingkah gila, dan bahkan kematianku sia-sia belaka.” Tapi aku ingin mengutip Paul Verlaine, sang penyair Prancis dalam Romances sans Paroles, “Cucuran air mataku laksana hujan berguguran di kota itu.” Ah, kutipan yang terakhir ini rasanya agak lebay, tapi itulah hidup jika kita hendak memberikan kesempatan untuk mendengar diri sendiri yang sesungguhnya banyak air mata yang kadang mengalir tanpa membasahi tanah kerontang ini.
Catatan:
- Tentang penulis: Asy’arie Samal. Lahir di Luhu. 28 September 1984. Penulis Muda Maluku.
- Ilustrasi dari: Dakwatuna.com